Kasus pemalsuan dokumen yang melibatkan Kepala Desa (Kades) Kohod, Arsin, telah mengguncang dunia pemerintahan desa di Tangerang. Terungkapnya peran Arsin dalam pemalsuan surat-surat penting terkait sertifikat tanah di wilayah Pagar Laut ini membuka tabir skandal yang melibatkan manipulasi administrasi tanah untuk kepentingan pribadi. Sebuah praktik yang merusak kepercayaan publik terhadap integritas pejabat desa dan sistem pertanahan di Indonesia.
Pada 18 Februari 2025, Bareskrim Polri mengungkapkan bahwa Arsin, bersama tiga tersangka lainnya—Ujang Karta (Sekretaris Desa Kohod), SP (Penerima Kuasa), dan CE (Penerima Kuasa)—terlibat dalam pemufakatan jahat untuk memalsukan dokumen yang diperlukan untuk mendapatkan Sertifikat Hak Milik (SHM). Dokumen-dokumen yang dipalsukan termasuk girik, surat penguasaan fisik tanah, surat keterangan tanah, hingga surat kuasa pengurusan sertifikat. Tujuan mereka jelas: mengajukan permohonan pengukuran tanah yang kemudian menghasilkan 260 SHM atas nama warga Desa Kohod yang tidak sah.
Penyelidikan yang dilakukan oleh Dit Tipidum Bareskrim Polri mengungkapkan bahwa aksi ini berlangsung selama hampir setahun, antara Desember 2023 hingga November 2024. Dalam prosesnya, Arsin dan Ujang Karta turut memalsukan dokumen milik desa, yang kemudian digunakan untuk meraih keuntungan pribadi. Hal ini bukan hanya melanggar hukum, tetapi juga menimbulkan kerugian pada masyarakat dan merusak tata kelola pemerintahan desa.
Brigjen Djuhandhani Rahardjo Puro, Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri, dalam konferensi pers menyatakan, “Keempat tersangka ini berkolaborasi dalam memalsukan dokumen yang digunakan untuk mengajukan permohonan pengukuran ke Kantor Jasa Surveyor Berlisensi (KJSB). Hasilnya, mereka berhasil memperoleh 260 SHM yang seharusnya tidak diterbitkan.”
Penyidik Polri bahkan melakukan penggeledahan di tiga lokasi yang terkait dengan kasus ini: Kantor Desa Kohod, rumah Kepala Desa Arsin, dan rumah Sekretaris Desa Ujang Karta. Hasilnya, sejumlah barang bukti ditemukan, termasuk dokumen rekapitulasi transaksi keuangan desa yang mencurigakan, serta beberapa rekening yang diduga terkait dengan kegiatan ilegal ini.
Tak hanya soal pemalsuan dokumen, kasus ini juga membuka luka dalam kepercayaan masyarakat terhadap sistem administrasi pertanahan yang seharusnya berjalan transparan dan sesuai prosedur. Dengan melibatkan pejabat publik, praktik ilegal seperti ini berpotensi merusak integritas pemerintah dan memperburuk citra pelayanan publik.
Kasus ini telah menarik perhatian banyak pihak, termasuk warga desa yang merasa dirugikan. Mereka mempertanyakan keabsahan tanah mereka dan apakah sertifikat yang dimiliki memang sah. Polri memastikan akan terus mendalami kasus ini dengan memeriksa lebih banyak saksi dan bukti-bukti lain untuk mengungkap siapa saja yang terlibat lebih jauh dalam jaringan pemalsuan ini.
“Praktik semacam ini tidak hanya merusak sistem administrasi, tetapi juga menghancurkan kepercayaan warga terhadap pemerintah. Kami akan bertindak tegas untuk menindak semua pihak yang terlibat,” tegas Djuhandhani.
Skandal ini menjadi pengingat bahwa integritas dalam pemerintahan, terutama di tingkat desa, harus dijaga dengan sebaik-baiknya. Dalam dunia yang semakin transparan ini, setiap upaya untuk menipu atau mengelabui sistem tidak akan bertahan lama. Masyarakat pun diharapkan lebih waspada dan kritis terhadap setiap proses administrasi yang melibatkan mereka.
Dengan ditetapkannya Arsin dan para tersangka lainnya sebagai pelaku utama dalam pemalsuan ini, diharapkan kasus ini menjadi pelajaran bagi pemerintah desa lain untuk lebih berhati-hati dan menjaga amanah yang diberikan masyarakat.