awang putih, komoditas yang seharusnya menjadi bagian dari kebutuhan dapur rakyat, kini menjadi bahan perdebatan yang jauh lebih panas dari sekadar memasak. Kasus dugaan mafia impor bawang putih kembali mengemuka, dan kali ini dengan twist yang lebih dramatis. Direktur Center for Budget Analysis (CBA) Uchok Sky Khadafi meminta Presiden Prabowo Subianto untuk turun tangan langsung menindak anak buahnya di Kementerian Perdagangan yang diduga terlibat dalam praktik impor bawang putih yang sangat menguntungkan para mafia.
Menurut Uchok, masalah impor bawang putih ini bukanlah hal baru. “Ini sudah lama, pokoknya yang namanya impor, terutama bawang putih, harus dibasmi,” tegasnya. Tentu saja, wajar jika Uchok merasa demikian. Bagaimana tidak, kuota impor yang seharusnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan domestik, malah diperdagangkan seperti barang dagangan di pasar gelap.
Ternyata, di balik ketimpangan harga bawang putih yang melonjak tajam, terdapat oknum-oknum yang memainkan peran penting dalam mengendalikan kuota impor. Dugaan manipulasi alokasi kuota impor ini menjadi lebih jelas ketika harga kuota bawang putih yang semestinya wajar, justru dihargai selangit—7.000 rupiah per kilogram! Siapa sangka, kuota bawang putih kini lebih berharga dari beberapa komoditas lainnya yang bahkan lebih sulit didapatkan?
Tentu, ini menimbulkan pertanyaan besar: Di mana transparansi yang seharusnya ada dalam kebijakan impor? Sementara kebijakan ini seharusnya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pasar dengan harga yang terjangkau, kenyataannya kebijakan ini lebih mirip dengan ladang subur bagi segelintir pihak yang sudah ‘terbiasa’ dengan bisnis semacam ini.
Kementerian Pertanian (Kementan) diduga menjadi aktor utama dalam memuluskan jalan bagi mafia bawang putih ini, dengan memberikan kuota impor kepada perusahaan-perusahaan yang, entah kenapa, baru muncul dengan izin impor dalam jumlah besar. Anehnya, perusahaan-perusahaan ini tidak memiliki rekam jejak yang jelas di dunia pertanian, namun diberikan akses tak terbatas untuk mengatur pasokan bawang putih. Bahkan, mereka seakan ‘dilarang’ untuk gagal dalam menciptakan ilusi bahwa impor ini dilakukan demi kepentingan umum.
Tentu saja, Prabowo Subianto, sebagai orang yang kini duduk di kursi kementerian yang bersangkutan, diminta untuk turun tangan langsung. Jika tidak, kerugian negara yang ditimbulkan dari praktek mafia impor bawang putih ini akan semakin meningkat. Sebagai Menteri Pertahanan, mungkin Prabowo lebih terbiasa dengan strategi militer, tapi kali ini, strategi melawan mafia bawang putih sepertinya menjadi ujian baru bagi beliau.
Maka, dengan segala keterlibatan yang terjadi di balik layar, kita tidak bisa tidak bertanya-tanya: Apakah kuota impor bawang putih ini hanya komoditas dagang baru bagi beberapa orang, atau apakah kebijakan impor yang lebih baik bisa benar-benar diwujudkan? Hanya waktu yang akan memberi jawabannya, meskipun mungkin kita semua harus menunggu lebih lama lagi untuk mendapatkan bawang putih dengan harga yang wajar.