Sepertinya, organisasi masyarakat (ormas) di Indonesia kini sedang berada di puncak kreativitasnya—namun sayangnya, “kreativitas” mereka malah lebih banyak mengarah ke hal-hal yang kurang menginspirasi, seperti pemalakan, intimidasi, dan pembakaran mobil polisi. Tentu saja, kreativitas seperti ini sangat pantas mendapat perhatian khusus dari pemerintah, yang akhirnya memutuskan untuk membuka peluang merevisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, yang terkenal karena gaya komunikasinya yang lugas, akhirnya mengungkapkan kekhawatirannya pada Jumat (25/4/2025). Ia menyebutkan bahwa banyak ormas yang kini tampaknya sedang mengalami kebablasan dalam beraktivitas. “Kita lihat banyak sekali peristiwa ormas yang kebablasan. Mungkin perlu ada mekanisme pengawasan yang ketat," kata Tito, dengan nada yang sepertinya mulai sedikit kesal. Sungguh, bagaimana bisa ormas, yang seharusnya menjadi organisasi yang membantu masyarakat, malah beraksi seperti grup kriminal dengan izin?
Salah satu masalah besar yang perlu dievaluasi adalah soal keuangan ormas. Tito dengan tegas mengingatkan bahwa ketidakjelasan penggunaan dana ormas bisa jadi lahan subur untuk penyalahgunaan kekuasaan. Bayangkan saja, ormas yang seharusnya membantu masyarakat, malah bisa mengumpulkan dana dari aktivitas yang meragukan. “Ormas tidak boleh bertindak sewenang-wenang dengan melakukan intimidasi, kekerasan, hingga pemerasan,” tegas Tito. Tentu saja, siapa pun yang mendengar ini pasti akan berpikir, "Oh, jadi ormas yang melakukan pemerasan itu nggak boleh ya? Kenapa nggak ada yang mengingatkan mereka lebih awal?"
Tito juga mencontohkan aksi premanisme berkedok ormas yang terjadi pada pembakaran mobil polisi di Depok. Tindak pidana seperti itu, katanya, harus diproses sesuai hukum. Ya, tentu saja, siapa yang tidak tahu bahwa tindakan seperti itu memang pantas diproses secara hukum? Tapi, sepertinya untuk kasus seperti ini, proses hukum yang tepat rasanya sudah lama terlambat.
Di sisi lain, anggota Komisi III DPR, Abdullah, dengan tegas mengatakan bahwa negara tidak boleh kalah oleh preman yang bersembunyi di balik ormas. Ia menyebutkan bahwa aksi premanisme sudah sangat meresahkan, bahkan sampai menghambat investasi. "Seolah-olah tidak ada hukum di Indonesia," ujar Abdullah. Jika tidak ada hukum, berarti kita mungkin bisa memikirkan kembali definisi "hukum" itu sendiri. Di dunia yang penuh hukum, kenapa premanisme bisa berjalan begitu bebas?
Abdullah dengan bijak mendorong pemerintah untuk membentuk satuan tugas (Satgas) Antipremanisme yang terdiri dari berbagai lembaga penegak hukum. Satgas ini diharapkan bisa menyelesaikan kasus-kasus yang mengganggu iklim investasi, karena tentu saja, premanisme yang berkedok ormas sangat menguntungkan bagi negara, bukan? Semakin banyak preman, semakin berkembanglah perekonomian Indonesia—ehem, jika hanya melihat dari sisi kesalahan logika.
Jadi, setelah pembakaran mobil polisi dan pemalakan terhadap pabrik BYD di Subang, apakah kita masih ingin menunggu lebih lama untuk menindaklanjuti aksi-aksi yang semakin kreatif ini? Mengapa tidak segera menghapuskan “kreativitas” ormas yang satu ini dan memperkenalkan aturan yang benar-benar menindak secara tegas? Setelah semua ini, seharusnya kita mulai bertanya: kalau ormas mulai merajalela seperti ini, apa lagi yang bisa dilakukan pemerintah selain memodifikasi Undang-Undang Ormas?