'Kiamat' dolar kini di depan mata. Presiden Rusia Vladimir Putin berencana mengakhiri dominasi mata uang dolar Amerika Serikat (AS).
Hal ini setidaknya terlihat dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS di Kota Kazan yang dimulai Selasa (22/10/2024) ini hingga Kamis nanti. BRICS sendiri adalah akronim dari Brasil, Rusia, India, China dan Afrika Selatan (Afsel).
Dalam update terbaru AFP, Pemimpin China Xi Jinping, Perdana Menteri (PM) India Narendra Modi, dan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan sudah berada di Rusia untuk menghadiri BRICS. Perlu diketahui tak hanya Brasil, Rusia, India, China dan Afrika Selatan (Afsel) yang kini menjadi anggota kelompok itu, tapi juga Mesir, Ethiopia, Iran, dan Uni Emirat Arab (UEA) dengan status Turki sebagai calon anggota baru.
Mengutip Dana Moneter Internasional (IMF) pangsa BRICS dalam PDB global diperkirakan akan naik menjadi 37% pada akhir dekade ini. Sementara pangsa yang diperhitungkan oleh Kelompok Tujuh (G7) negara ekonomi Barat utama akan turun menjadi sekitar 28% dari 30% tahun ini.
Platform Baru Pengganti SWIFT
Melansir The Economist, Rusia memang tengah berusaha meyakinkan negara-negara BRICS untuk membangun platform alternatif guna pembayaran internasional yang "kebal" terhadap sanksi Barat. Ini untuk menyaingi SWIFT, jaringan keuangan Barat, yang sebelumnya memutus hubungan dengan bank-bank Rusia di 2022 ketika perang Putin dan Ukraina pecah.
"Semua orang memahami bahwa siapa pun dapat menghadapi sanksi dari kami atau sanksi Barat lainnya," kata Menteri Luar Negeri Rusia, Sergei Lavrov, menekankan pentingnya platform pembayaran baru, bulan lalu.
"Sistem pembayaran BRICS akan memungkinkan operasi ekonomi tanpa bergantung pada mereka yang memutuskan untuk mempersenjatai dolar dan euro," tambahnya.
Secara rinci, sistem yang disebut Rusia "Jembatan BRICS" ini akan dibangun dalam waktu satu tahun . Ini akan memungkinkan negara-negara untuk melakukan penyelesaian lintas batas menggunakan platform digital yang dijalankan oleh bank sentral mereka.
Secara kontroversial, sistem ini mungkin meminjam konsep dari proyek lain yang disebut mBridge, yang dijalankan Bank for International Settlements (BIS), lembaga keuangan internasional yang dimiliki oleh bank-bank sentral dunia untuk kerjasama moneter dan keuangan internasional serta berfungsi sebagai bank bagi bank sentral.
"Rencana BRICS dapat memberikan transaksi yang lebih murah dan lebih cepat. Manfaat tersebut mungkin cukup untuk menarik ekonomi negara berkembang," muat The Economist dalam laporan mendalamnya.
Mengutip Reuters, sistem pembayaran baru ini sebenarnya terlihat dalam sebuah dokumen yang disiapkan oleh Kementerian Keuangan dan Bank Sentral Rusia (Central Bank of the Russian Federation), yang dibagikan kepada wartawan menjelang KTT BRICS. Inti usulan Rusia adalah proposal untuk sistem pembayaran baru berdasarkan jaringan bank komersial yang saling terhubung melalui bank sentral BRICS.
Sistem ini akan menggunakan teknologi blockchain untuk menyimpan dan mentransfer token digital yang didukung oleh mata uang nasional. Hal ini, pada gilirannya, akan memungkinkan mata uang tersebut dipertukarkan dengan mudah dan aman, melewati kebutuhan akan transaksi dolar.
"Rusia melihatnya sebagai cara untuk menyelesaikan masalah yang semakin meningkat dalam menyelesaikan pembayaran perdagangan, bahkan dengan negara-negara sahabat seperti China, di mana bank-bank lokal khawatir mereka dapat terkena sanksi sekunder oleh AS," tambah laman itu.
"Panopticon" dan "Choke Point
Dominasi Amerika atas sistem keuangan global memang telah menjadi tatanan usai Perang Dunia 2 (PD II). Dalam dunia pembayaran internasional, AS menjadi tempat banyak bank di dunia menukar mata uang asing, melakukan pembayaran ke dolar dan kemudian ke mata uang yang digunakan masing-masing untuk menerima pembayaran.
Sentralitas dolar memberikan apa yang disebut oleh dua cendekiawan ekonomi, Henry Farrell dan Abraham Newman, efek "panopticon" dan "choke point". Karena hampir semua bank yang bertransaksi dalam dolar harus melakukannya melalui bank koresponden di AS dan membuat
Bank korespondensi di AS dapat memantau arus untuk mencari tanda-tanda pendanaan teroris dan "penghindaran sanksi". Hal itu memberi para pemimpin AS kuasa yang sangat besar, yang tentu bisa digunakan sebagai alternatif "senjata" untuk berperang.
Melalui SWIFT misalnya, AS telah menuntut agar beberapa bank asing diputus dari jaringan itu. Pada tahun 2018, sistem pengiriman berbasis di Belgia itu memutus hubungan dengan Iran dan 2022 dengan Rusia setelah invasinya ke Ukraina, membekukan aset senilai US$282 miliar yang disimpan di luar negeri.
Amerika juga mengancam akan memberikan sanksi sekunder terhadap bank-bank di negara lain yang mendukung upaya perang Rusia. Ini pulalah yang akhirnya membuat Visa dan MasterCard, dua perusahaan Amerika yang diandalkan zona euro untuk pembayaran ritel, tutup usaha di Rusia.
"Tsunami yang menghantam Rusia" itu telah mendorong "musuh-musuh" Amerika untuk mempercepat upaya mereka untuk menjauh dari dolar. Hal ini mendorong banyak pemerintah lain untuk melihat ketergantungan mereka pada keuangan Amerika.
China memandangnya sebagai salah satu kerentanan terbesarnya. Putin berharap untuk memanfaatkan ketidakpuasan terhadap dolar ini di KTT BRICS.
Bukan Sekedar Alat Pembayaran Baru
Sebenarnya, selain inisiatif baru untuk memfasilitasi perdagangan dan investasi, Rusia juga mengusulkan untuk menciptakan platform "BRICS Clear". Ini untuk menyelesaikan perdagangan sekuritas.
Dokumen yang dilihat Reuters, menyerukan komunikasi yang lebih baik antara lembaga pemeringkat kredit di negara-negara anggota dan metodologi pemeringkatan bersama. Meski, tidak mengusulkan lembaga pemeringkat BRICS bersama.
"Ini merupakan sebuah ide yang telah dibahas kelompok tersebut sebelumnya. Rusia, eksportir gandum terbesar di dunia," ujar laman itu.
Rusia juga mendesak pembentukan bursa perdagangan gandum BRICS, yang didukung oleh lembaga penetapan harga. Hal ini untuk menciptakan alternatif bagi bursa Barat tempat harga internasional untuk komoditas pertanian ditetapkan.
Konsensus yang Sulit?
Sementara itu, sejumlah pengamat melihat langkah Rusia ini sebagai upaya untuk menunjukan bahwa Moskow tidak hanya tidak terisolasi. Tetapi juga memiliki mintra dan sekutu.
"Rusia ingin menunjukkan alternatif terhadap tekanan Barat dan bahwa dunia multipolar adalah kenyataan," kata analis politik yang berbasis di Moskow, Konstantin Kalachev, mengatakan kepada AFP.
Namun pendiri lembaga pemikir BRICS+ Analytics, Yaroslav Lissovolik, mengatakan bahwa penciptaan sistem seperti itu secara teknis layak. Tapi, hal ini akan memakan waktu.
"Setelah perluasan keanggotaan BRICS yang signifikan tahun lalu, pencapaian konsensus bisa dibilang lebih sulit," katanya.