Mana Ada Tentara Oranye?" — Ketika Seragam Lebih Serius dari Ideologi

· 2 min read
dynasty4dtoto-gifoasistogel-gif
Ormas Dilarang Pakai Seragam Mirip TNI-Polri, Pemuda Pancasila: Mana Ada Tentara Oranye?

Larangan ormas memakai seragam yang menyerupai TNI dan Polri kembali ditegaskan. Alasannya jelas: agar rakyat tak bingung membedakan mana aparat negara dan mana yang cuma “berjiwa militer” tanpa harus ikut pendidikan militer. Tapi, seperti biasa, drama bukan datang dari kebijakan, melainkan dari komentar—kali ini dari Pemuda Pancasila.

"Mana ada tentara oranye?" begitu kata mereka, dengan nada yakin seperti warna itu satu-satunya pembeda antara negara dan negara api yang menyerang.

Sarkastisnya, mungkin benar. Sebab di dunia militer, siapa peduli soal oranye? Tapi bukan soal warnanya, Bung. Ini soal gaya, atribut, bahkan cara berbaris dan memegang tongkat komando yang entah dipakai buat tugas mulia atau sekadar parade intimidasi di jalan raya.

Lalu, apa kabar ormas-ormas lain yang senang tampil garang di jalanan, lengkap dengan baret miring, seragam loreng, dan sikap seperti sedang latihan perang melawan warga sipil yang lewat? Entah itu simbol solidaritas atau cosplay nasionalis, yang jelas, masyarakat lebih sering bingung daripada merasa aman.

Tentu, memakai seragam memang hak tiap organisasi. Tapi ketika yang dipakai terlalu mirip aparat resmi negara, dan ketika aksi di lapangan malah membuat resah daripada menjaga ketertiban, siapa yang salah kalau negara akhirnya bilang: “Stop cosplay-nya, bro.”

Dan jangan salah. Tentara betulan tak pernah perlu menyebut dirinya tentara. Mereka cukup diam, lalu negara bicara lewat mereka. Sementara yang pakai oranye, baret, dan emblem tak resmi—seringkali suaranya lebih nyaring daripada tindakan.

Jadi, benar juga sih. Mana ada tentara oranye? Tapi, pertanyaannya sekarang bukan soal warna. Melainkan: "Mana ada ormas yang benar-benar paham batasnya?"

Logo
Copyright © 2025 Satu Berita. All rights reserved.