Dalam gebrakan yang terdengar seperti dentuman gendang kosong, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) akhirnya menghentikan sementara penerbitan Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH). Bukan karena tiba-tiba sadar atau terbangun dari mimpi panjang—melainkan karena hutan Raja Ampat telanjur babak belur dan fotonya keburu viral.
Ya, sementara. Kata ajaib yang artinya: "Tenang, ini cuma jeda kecil. Nanti kita lanjut lagi kalau sudah adem."
Raja Ampat, selama ini dijual habis-habisan sebagai destinasi eco-tourism kelas dunia, kini ternyata punya ladang luka di balik tebing karst dan birunya laut. Tapi tenang saja, KLHK langsung bertindak. Bukan menghukum pelaku, bukan mencabut izin lama, tapi menghentikan penerbitan izin baru. Itu pun hanya untuk sementara, karena tentu kita tidak ingin merusak "iklim investasi," bukan?
Toh, kerusakan hutan bukanlah musuh. Dalam praktik birokrasi, kerusakan hanyalah efek samping dari kemajuan. Lagipula, apa artinya sepetak hutan gugur demi hadirnya jalan tambang yang mulus, tower pemantau satwa yang dibangun di atas habitat satwa yang sudah kabur, dan tentu saja laporan tahunan yang rapi?
Pernyataan pejabat terdengar galak: “Kami evaluasi total,” katanya. Tapi entah kenapa, evaluasi di negeri ini jarang melahirkan tindakan, lebih sering melahirkan surat edaran baru. Dan bila sejarah boleh jadi acuan, penghentian ini hanya jeda untuk menata ulang narasi, bukan menghentikan kehancuran.
Sejumlah proyek tambang dan industri besar yang sudah mencicipi manisnya PPKH tentu tak perlu khawatir. Proyek jalan terus. Yang dihentikan itu kan cuma penerbitan, bukan operasional. Jadi, selama masih ada izin lama yang bisa dimaksimalkan, buldoser tetap hidup, dan chainsaw tetap berdengung merdu.
Lucunya, di saat bersamaan, pemerintah terus menyuarakan komitmen pada perubahan iklim, restorasi lingkungan, dan pelestarian alam. Ironi? Tidak juga. Mungkin ini bagian dari strategi komunikasi: sambil menggali, sambil menanam. Sambil membabat, sambil menanam bibit program penghijauan untuk foto seremonial.
Pada akhirnya, penghentian PPKH ini bukanlah tanda kesadaran, melainkan jeda akrobat retoris. Kita tidak sedang menyelamatkan hutan—kita sedang menyelamatkan wajah.