ndonesia kembali menunjukkan kelasnya sebagai negara super adaptif, di mana hukum dan prosedur bisa lentur, fleksibel, bahkan menghilang—asal yang bicara punya seragam, pangkat, atau kenalan yang cukup ‘berpengaruh’. Contoh teranyar? Surat dari Komandan Kodim 0501/JP Jakarta Pusat, Letkol Inf Harry Ismail, kepada Bea Cukai Soekarno-Hatta.
Surat itu, yang konon ditulis dengan tinta kepercayaan diri dan materai kekuasaan, berisi permintaan: tolong barang milik Arie Kurniawan dilepas saja, jangan repot-repot diperiksa. Ya, Anda tidak salah baca. Bukan untuk operasi militer. Bukan pengamanan presiden. Hanya... barang milik seseorang. Tapi tenang, katanya semua ini demi “kelancaran tugas”. Tugas siapa? Tugas membawa barang masuk, mungkin.
Tentu, rakyat jelata seperti kita tak layak iri. Kita hanya bisa memandangi koper di bandara, digeledah sampai lipatan celana dalam. Kita hanya bisa antre, isi deklarasi, dan berharap petugas tidak menganggap satu toples sambal sebagai barang berbahaya. Tapi mereka yang punya surat dari Dandim? Langsung “jalan tol langit”—bebas hambatan, bebas rintangan.
Yang membuat segalanya semakin indah adalah klarifikasi Kodam Jaya, yang menyatakan surat itu hanyalah koordinasi biasa. Ya, biasa. Seperti orang biasa lainnya yang kalau ingin bawa rice cooker lewat bandara, cukup kirim surat ke bea cukai. Anda tidak biasa? Mungkin Anda bukan bagian dari ekosistem keistimewaan.
Kita patut belajar dari ini. Bukan belajar hukum, tapi belajar hierarki. Di negeri ini, bukan peraturan yang memerintah, tapi siapa yang memegang bolpoin saat tanda tangan.
Dan kalau Anda merasa terganggu dengan praktik semacam ini, mungkin Anda hanya tidak cukup paham tentang makna “kebersamaan institusional”. Atau mungkin Anda cuma belum punya kenalan bernama Arie.
Satu hal pasti: Indonesia adalah negara hukum. Tapi hukum yang bisa dititipkan lewat surat.