China baru-baru ini mengeksekusi mati Li Jianping, mantan pejabat senior yang terbukti terlibat dalam skandal korupsi besar senilai lebih dari 3 miliar yuan (sekitar Rp6,6 triliun). Eksekusi ini merupakan bagian dari upaya keras pemerintah China untuk memberantas korupsi di kalangan pejabat tinggi negara. Li, yang pernah menjabat sebagai sekretaris komite kerja Partai Komunis di Hohhot, Mongolia Dalam, dihukum mati setelah terbukti menerima suap, menyalahgunakan dana publik, dan berkolusi dengan sindikat kriminal.
Pada September 2022, Li dijatuhi hukuman mati setelah ditemukan bahwa ia telah menggelapkan dana lebih dari 1,437 miliar yuan (sekitar Rp3,1 triliun) dari perusahaan milik negara. Selain itu, ia menerima suap sebesar 577 juta yuan (sekitar Rp1,2 triliun) sebagai imbalan atas pemberian keuntungan, dan lebih dari 1,06 miliar yuan (sekitar Rp2,3 triliun) dana publik yang ia gelapkan, dengan sebagian besar dana tersebut masih belum ditemukan.
Meskipun Li mengajukan banding, pengadilan akhirnya menegaskan hukuman mati yang dijatuhkan padanya, yang disetujui oleh Mahkamah Rakyat Tertinggi China pada bulan Agustus lalu. Eksekusi ini menjadi simbol dari kebijakan keras pemerintah China dalam memerangi korupsi, yang telah melibatkan banyak pejabat tinggi negara.
Kasus Li Jianping bukan satu-satunya skandal korupsi besar yang terjadi di China. Sebelumnya, Liu Liange, mantan ketua Bank China, juga dijatuhi hukuman mati dengan penangguhan dua tahun setelah terbukti menerima suap hampir USD17 juta dan mengeluarkan pinjaman ilegal. Langkah-langkah tegas ini menunjukkan komitmen China dalam memberantas praktik korupsi yang merugikan negara dan masyarakat.